by Sita Ram Goel: Bab 8
Kebanyakan bahan-bahan bacaan mengenai teologi islam ortodoks memberi banyak ruang untuk subjek non-perang seperti: iman, penyucian, sholat, zakat, puasa, naik haji, perkawinan, perceraian, transaksi bisnis, warisan, pahala, pusaka, sumpah, janji, kejahatan, azab, pemerintahan, perburuan, makanan, minuman, cara berpakaian, dekorasi, salam, magis, syair, pandangan-pandangan, mimpi-mimpi, kebaikan, hari kiamat, pertobatan, dll. Tapi aturan yang digelar bagi setiap muslim, dimana saja, kapan saja, semuanya sama. Keseragaman tingkah laku ini menghapus individualitas manusia dan mengubahnya menjadi sekedar anggota dari sebuah perkumpulan sekte ketat yang dinamakan UMAT.
UMAT itu berubah bentuk, begitu diiringi Jihad - sebuah konsep yang tidak kurang pentingnya dalam teologi islam. Umat islam lebih banyak terlihat sebagai MESIN MILITER dibanding sebagai masyarakat sosial yang damai. Aturan-aturan Shariah terbaca persis sebuah manual yang khusus disusun utk digunakan dalam barak-barak militer – bangun tiap pagi buta, segera membereskan tempat tidur, menyapu lantai, menyetrika pakaian, menyemir sepatu, mandi dgn buru-buru, melakukan gerakan-gerakan tertentu dalam sebuah ritual baik bersama maupun sendiri-sendiri, berbagi makanan yang sama, minum dari sumber yang sama dan akhirnya menghadapi pengadilan militer yang sama jika melakukan kesalahan. Orang bisa terheran-heran sekaligus geli ketika kemiripan tingkah laku Muslim ini dijelaskan oleh para pembicara islam sebagai inti paling utama dari moralitas dan spiritualitas yang universal.
Sholat : Bibit Militerisasi
D.S. Margoliouth menyebutkan beberapa sumber Muslim mengenai proses kelakuan para muslim, ketika akan dimulai Perang Badar:
“Utk perang yang akan terjadi sebentar lagi ini kita tidak punya informasi rinci dan jelas tentang keadaan musuh, tapi setidaknya kita tahu beberapa faktor yang akan membuahkan hasil. Kedisiplinan ketika sholat, dimana para muslim diatur dalam barisan-barisan dan harus melakukan apa yang dilakukan oleh pemimpin sholat (imam), keluar barisan akan dihukum berat. Hukuman ini berfungsi sebagai pendisiplinan yang keras dan Muhamad sebelum perang telah membagi tugas kpd jenderalnya agar pasukan tetap bertahan dalam barisan. Jenderal pasukan musuh, ‘Utbah, anak dari Rabiah, terpana oleh penampilan pasukan Muslim, mereka semua berlutut, semuanya diam dan hanya lidah-lidah mereka saja yang bergerak liar seperti ular. Mereka semua siap akan perintah dari nabi mereka, yang sadar bahwa sang nabi tidak perlu mempertaruhkan nyawanya; Bagi sang nabi, jauh dibelakang pasukannya telah berdiri tenda, dijaga oleh para penasihat dan pasukannya yang paling dipercaya, dimana dari sana dia bisa memberi perintah; di dekat tenda terlihat unta-unta terikat, siap digunakan utk ngacir bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.[1]
Pengamatan dari Count Keyserling
Militerisasi dari kehidupan muslim sehari-hari ini diamati oleh Count Keyserling (1880-1946) selama perjalanannya ke negara-negara muslim. Dia merangkum kesan-kesannya dalam buku The Travel Diary of a Philosopher;
“Islam adalah sebuah agama yang pasrah total dan tunduk total pada Auwloh – Auwloh dengan karakter tertentu – seorang Dewa Perang yang merasa punya hak utk melakukan apapun yang Dia inginkan terhadap kita dan yang menginginkan kita tetap berdiri tegak dalam barisan ketika berperang melawan musuh-musuhNya… Ritual dari kepercayaan ini mewujudkan kedisiplinan. Ketika para muslim melakukan sholat setiap hari pada waktu-waktu tertentu dalam urutan/baris tertentu di mesjid, semuanya bergerak dengan gerakan yang sama diwaktu yang hampir bersamaan, ini bukanlah sesuatu yang dilakukan dalam metoda kesadaran-diri, tapi dalam keadaan trance (kerasukan), persis seperti semangat para tentara Prusia yang berbaris dihadapan Kaisarnya. Dasar militer dari islam ini menjelaskan inti dari muslimin, sekaligus juga menjelaskan cacat fundamental – ketidakmajuan, ketidakmampuan utk beradaptasi, kekurangan diri akan penemuan hal-hal baru. Karena seorang tentara cukup hanya mematuhi perintah. Sisanya adalah urusan Auwloh.” [2]
Sholat Jum’at Atau Berjamaah
“Diawal masa Islam”, tulis Professor K.S. Lal dari India, “fitur utama dari hari Jum’at adalah sholat berjamaah, dimana para muslim berdiri pada barisan yang lurus. Wajib mengikuti sholat ini sama seperti disiplin militer. Isi Khotbahnya sama seperti khotbah lainnya, berisi nasehat-nasehat, teguran dan arahan akan kewajiban religius dan politis. Rasa kekaguman merayap masuk pada benak para pengikutnya – membuat kepercayaan mereka bertambah…”[3] Mukjijat-mukjijat dikhotbahkan juga dalam sholat jum’at ini. “Hadits menyatakan bahwa namaz (melakukan sholat di mesjid) dalam sebuah sholat berjamaah dihitung 25 kali dibanding sholat dirumah. Muhammad sangat ketat akan keikut-sertaan sholat berjamaah ini.”[4] Nabi dilaporkan berkata bahwa dia ingin membakar rumah orang yang tidak ikut solat jum’at. Dalam sejarah Islam di India, khotbah Jum’at sampai membuat para pengikutnya merasa “ingin mengasah pedang” dan ingin melakukan kerusuhan-kerusuhan dijalanan. Berbagai kerusuhan memang terjadi hampir selalu sesudah sholat Jum’at.[5]
Islam Memecah Umat Manusia
Gambarnya menjadi makin jelas ketika kita merenungkan kategori-kategori pemikiran yang membentuk fondasi utama islam. Kategori pemikiran ini dihasilkan dari Quran, yang oleh para pengikutnya dikutip pada setiap belokan hidup dan pada setiap masalah kehidupan.
Teologi Islam memecah umat manusia menjadi dua faksi yang bermusuhan. Ada faksi Mu’minin (orang beriman/percaya), orang-orang ini jadi favoritnya Auwloh, dan Auwloh menjanjikan kemenangan di dunia yang sekarang dan di dunia yang berikutnya (surga). Ada faksi Kafir (orang tidak beriman/tidak percaya) yang hidupnya, kebebasannya, harta miliknya dan kehormatannya telah diberikan Auwloh kepada faksi Mu’minin. Faksi Mu'minin boleh membantai, merampok dan memperbudak kaum kafir dengan cara apapun, tujuan apapun, dan mereka melakukan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Toh mereka hanya memenuhi apa yang Auwloh kehendaki dan berikan pada mereka.
Islam Mempolarisasi Dunia
Teologi yang sama juga membagi dunia menjadi dua kamp yang bertentangan, yang tidak dapat didamaikan. Disatu pihak ada Darul-Islam, tanah (wilayah) yang dipegang para Muslim dimana hukum Syariah memerintah. Tanah ini menjadi basis bagi para muslim utk beroperasi. Dilain pihak, ada Darul-Harb, tanah (wilayah) dimana para kafir tinggal dan dimana para mu’minin harus melakukan perang tanpa henti. Para Mu’min tidak boleh menyia-nyiakan tenaga maupun harta mereka dalam usaha utuk mengubah setiap Darul-Harb menjadi Darul-Islam.
Islam Membagi Dua Sejarah Manusia
Lagi-lagi, teologi Islam membagi dua sejarah manusia menjadi dua periode yang sangat tajam bedanya. Perioda sebelum Muhammad memproklamasikan kenabiannya disebut Jaman Jahiliyah, dan perioda setelah itu disebut Jaman Pencerahan (Ilm). Semua yang tersisa dari jaman Jahiliyah harus dihancurkan langsung atau harus diubah sedemikian sehingga seakan berasal dari jaman Pencerahan. Norma-norma jahiliyah dan pencerahan ini ditentukan bukan oleh kriteria-kriteria yang objektif maupun komparatif, tapi oleh diktum-diktum yang ada dalam Quran dan Hadis.
Mu’minin Adalah Manusia Yg Lebih Baik
Dalam teologi islam tidak dinyatakan bahwa kaum Mu’minin harus menjadi manusia yang lebih baik dalam hal pikiran dan moral. Mereka cukup bersumpah pada zat tertentu yang dinamai Auwloh dan manusia tertentu yang mereka sebut Rasul (Nabi), dan otomatis mereka berhak utk membunuh mereka yang menolak melakukan sumpah yang sama. Mereka bebas dari sholat, puasa, naik haji dan ritual-ritual lainnya dan semua dosa serta kejahatan mereka diampuni, jika mereka ikut serta dalam peperangan melawan Kafir.
Islam Tak Compatible Dng Perdamaian
Mahatma Gandhi bukanlah spesialis teologi Islam. Dia terima tafsir para apologis muslim modern yang mengatakan bahwa islam artinya damai. Tapi dia tidak bisa melihat apapun dari kelakuan Muslim yang membuktikan tafsiran ini.
“Islam terlahir,” telaah sang Mahatma, “dalam sebuah kondisi lingkungan dimana pedang sudah, sedang dan masih menjadi hukum tertinggi… Pedang ini telah menjadi bukti-bukti yang nyata diantara para muslimin. Pedang itu harus disarungkan jika islam ingin menjadi seperti yang mereka tafsirkan, yaitu 'damai'.”
Professor Jadunath Sarkar, dilain pihak telah mendedikasikan hidupnya utk mempelajari teori dan praktek islam. Dia tidak bisa menghindar dari kesimpulan suram ini.
“Pembunuhan terhadap para kafir,” tulisnya, “dihitung sebagai suatu kebaikan bagi seorang muslim. Tidak perlu dia mengalahkan keinginan-keinginan duniawinya, tidak perlu dia menderita, tidak perlu dia memperkaya spiritualitasnya. Cukup dengan membunuh sesamanya atau merampok tanah dan kekayaan mereka (kafir), otomatis tindakan ini akan mengangkat jiwanya ke surga. Sebuah agama dimana para pengikutnya diajarkan utk menganggap perampokan dan pembunuhan sebagai sebuah kewajiban religius, tidaklah cocok bagi kemajuan umat manusia ataupun dengan perdamaian dunia.” [6]
Sejarawan dan akademisi Bangladesh mengatakan bahwa Quran “tidak merusak harmonisasi antar agama” dan bahwa “Karena Quran, tidak ada ketenangan umum yang terganggu hingga saat ini dan tidak ada alasan utk menyangka akan adanya gangguan-gangguan tsb dikemudian hari”.
Seluruh sejarah dari Islam, khususnya di India, bertentangan dengan pernyataan tsb diatas. Rakyat Bangladesh tahu sampai ke tulang rusuk mereka, apa yang sebenarnya dikatakan dalam Quran. Banjirnya pengungsi dari Bangladesh sampai sekarang belum juga berhenti.
--------------------------------------
Catatan Kaki:
- [Mohammed and the Rise of Islam, op. cit., pp. 258-59. Dia juga bilang bahwa kaum Pagan Arab, dilain pihak, “belum terbiasa dengan peralatan militer yang baru”, bahwa mereka bertempur dengan “tidak disiplin, tanpa kepemimpinan yang kuat”, dan bahwa “banyak istilah2 teknis peperangan dalam Islam telah berkembang, yang mana orang Arab non islam tidak mengenalnya”, hal 259-60]
- [Diceritakan oleh Jadunath Sarkar, History of Aurangzib, Volume III, Calcutta, 1928. p. 171.]
- [Theory and Practice of Muslim State in India, op. cit., pp. 83-84.]
- [ibid, hal 82.]
- [Ibid., p. 93.]
- Jadunath Sarkar, History of AurangzIb, Calcutta, 1928, Volume III, pp. 168-69.
Klik: UmatIslam=MesinMiliter