SWARA NON-MUSLIM

Blog ini di-dedikasikan bagi kalangan non-muslim Indonesia!

Hi guys, apa kabar? Gimana keadaan di Indonesia sekarang?

FYI:

Sementara blog ini sedang di maintenance silakan click blog ini

-------> nabimuhamad.wordpress

Semua artikel di blog itu bisa langsung di download (PDF file). Juga tersedia terjemahan buku-buku "subversif" dalam bhs Indonesia yg tidak mungkin boleh diterjemahkan & disebarkan secara 'legal' di negara-negara mayoritas islam, include Indonesia, karena akan bikin para muslimer penganut "agama damai" itu ngamuk bin kalap.

Buruan download ebook-nya mumpung belum disensor oleh muslim yg ketakutan islamnya dibongkar habis kepalsuannya.

Untuk info lainnya silahkan email aku: namasamaran@riseup.net atau follow twitterku:@islamexpose

Selamat datang dalam Terang Kebenaran. God bless you all




ISLAM DAN SEKULARISASI

by Ibn Warraq (May, 2007)

Masyarakat Muslim

Versus Masyarakat Barat

(Sebuah Komparasi)


Bagaimanapun jawaban bagi pertanyaan umum “Mengapa Agama Ada?” – apakah itu menurut teori Darwin, Marxis, budaya sosial, ekonomi sosial atau Freud – semuanya akan sesuai untuk membahas Islam. Pertanyaan yang lebih terarah tentang Islam adalah “Mengapa dunia Islam tidak mengalami proses sekulerisme seperti yang dialami dunia Barat?” Mengapa sekulerisme terjadi di dunia Barat? Jika terjadi sekulerisme di dunia Islam, apakah bentuk dan tujuannya akan sama dengan di dunia Barat? Apakah tepatnya Kebangkitan Islam masa kini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dibahas secara terperinci dalam waktu 15 menit saja. Yang bisa kulakukan adalah memberi alasan tepat mengapa tidak terjadi gerakan menyeluruh mengritik Islam di seluruh lapisan masyarakat di dunia Islam. Aku akan membatasi diri dengan hanya mengambil contoh di dua atau tiga negara dari sekitar 30 negara yang ada.

Pertama-tama, bagaimana terjadinya sekulerisme di dunia Barat? Apakah yang membedakan kebudayaan Barat dengan kebudayaan-kebudayaan besar lainnya? Apa yang menyebabkan terbentuknya kebudayaan Barat? Kupikir ada empat atau lima prinsip yang selalu ada dalam di budaya Barat sejak bangsa Yunani dulu membentuk sekulerisme yang nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya kemudian berkembang menjadi kebudayaan Barat. Aku akan menggunakan teori dari empat ahli untuk membahas empat prinsip dalam budaya Barat.

Sir Ernst Gombrich bertanya mengapa pihak Barat di akhir Abad Pertengahan dengan cepat bisa menjajah berbagai negara besar di dunia Timur. Ini jawab darinya:

Dalam kebudayaan besar Timur, kebiasaan hidup berpengaruh kuat dan tradisi jadi patokan kehidupan. Jika terjadi perubahan dalam masyarakat, hal itu tidak tampak karena aturan agama berkuasa penuh dan tiada yang boleh mempertanyakannya. Keinginan mempertanyakan sesuatu dan penolakan atas kekuasaan mutlak merupakan hal yang tidak terdapat dalam budaya Timur. Kedua hal itu berasal dari budaya Yunani. Betapapun seringnya pihak penguasa menolak kedua hal ini, pasti saja terus terjadi percikan perlawanan bawah tanah. Percikan ini dikipasi jadi kobaran kesadaran bahwa kakek moyang kita dulu bukanlah satu-satunya golongan yang tahu segala pengetahuan. Generasi masyarakat baru dapat mengetahui lebih banyak jika mereka mempertanyakan informasi terdahulu dari generasi sebelumnya. Ini sama seperti motto Royal Society (Masyarakat Bangsawan): Nullis in verba – Tidak ikut kata-kata siapapun.

Pertanyaan berikut: Apakah dampak sekulerisasi Kristen?

Penolakan akan agama bukanlah satu-satunya sebab dari sekulerisasi. Karena itu, usaha-usaha dari kaum beragama untuk menerangkan agama secara masuk akal seringkali menghasilkan efek samping yakni unsur logika lebih unggul daripada unsur maya. Selain itu, hal yang lebih penting lagi adalah pemisahan antara Gereja dan Negara, dan agama merupakan masalah pribadi saja. Hal ini pun mempengaruhi pendidikan masyarakat, bahkan pada orang-orang yang tetap memegang kuat agamanya.

Ini pernyataan dari Chadwick: Pengertian sebagian doktrin agama Kristen berkembang dalam gereja sebagai pengaruh laju pengetahuan dan ini mengakibatkan pikiran manusia lebih ‘sekuler’. Di abad ke-19, perkembangan sebagian doktrin Kristen ini berjasa membentuk pengertian manusia yang semakin sekuler.

Kata Chadwick lagi, “Sejak saat masyarakat Eropa menetapkan untuk bertoleransi, terbukalah kesempatan bagi segala pendapat. Secara hukum, toleransi terhadap minoritas tidaklah sama dengan kesamaan berpendapat. Tapi sejarah budaya Eropa berkembang dan mempengaruhi satu sama lain… Begitu terjadi kesamaan berpendapat dalam suatu kelompok, maka kelompok lain pun akan menerapkan hal yang sama. Kau tidak bisa menentukan kesamaan berpendapat hanya pada kelompok Protestan, atau Kristen, atau hanya orang yang percaya Tuhan saja. Kebebasan berpendapat dalam agama menjadi kebebasan berpendapat dalam segala hal… Kesadaran Kristiani dalam berpendapat inilah yang membuat Eropa jadi ‘sekuler’. Akibatnya, manusia boleh beragama atau tidak beragama karena kesadaranku adalah milikku sendiri.”

Aku ingin menambahkan satu unsur terakhir yang membentuk masyarakat Barat; mampu mengkritik diri sendiri. Masyarakat Barat punya kemampuan tinggi untuk bercermin pada diri sendiri, mengritik diri sendiri, dan mengamati diri secara dalam untuk menemukan kesalahan-kesalahan sendiri, tujuan-tujuan sendiri, dan kelemahan-kelemahan sendiri, dan mencoba untuk mencari perbaikan. Inilah yang dipikirkan Arthur Schlesinger ketika dia menulis, “Ada hal-hal penting yang berbeda dalam masyarakat Barat dan masyarakat lain. Kesalahan yang pernah dilakukan masyarakat Barat telah menghasilkan “obat” bagi diri mereka sendiri. Mereka mencapai loncatan besar dengan mengakhiri perbudakan, menaikkan derajat perempuan, menghapuskan penyiksaan, melawan rasisme, mempertahankan kebebasan berpendapat, memajukan hak-hak kebebasan pribadi dan hak azasi manusia.”

(Orang lain juga bisa menambahkan individualisme dan tradisi hak-hak dan kemerdekaan pribadi dalam daftar di atas.)

Aku akan bagi alasan-alasan kurangnya sekulerisme dan meningkatkan pengaruh Islam di dunia Islam dalam tiga kelompok:

(1) Doktrin Sejarah

(2) Budaya Masyarakat

(3) Ekonomi politik jaman modern

Ketiga kelompok bisa tumpang tindih dan tidak terbagi mutlak, dan mereka mempengaruhi satu sama lain.


(1) Doktrin Sejarah: [3]

1.1. Tiadanya pemisahan mutlak antara Negara dan Mesjid (Agama). Sekulerisme berdiri tegak di akhir abad ke-19 di negara-negara Protestan di Eropa, tapi pertama kali muncul di negara-negara Protestan di Eropa Utara di abad ke 17 setelah konflik Protestan-Katolik, dan sekulerisme ditegakkan setelah terjadi revolusi Amerika dan Perancis di abad ke-18. Orang bahkan bisa mengatakan bahwa sekulerisme memang bagian dari Kristen dari perkataan Yesus di Matius 22:21: “Berikan bagian Kaisar untuk Kaisar, dan berikan bagian Tuhan untuk Tuhan.”

Akan tetapi bagi Muslim, Tuhan adalah Kaisar, negara adalah negara milik Tuhan, tentara adalah tentara milik Tuhan, musuh adalah musuh Tuhan, dan di atas semuanya, Hukum Negara adalah Hukum Tuhan. Masalah pemisahan mesjid dan negara tidak berasal dari keberadaan mesjid itu sendiri, sebab dalam Islam, mesjid dan negara adalah satu dan sama. Muhammad itu nabi dan sosok militer, nabi dan negarawan. Karirnya sebagai negarawan sama pentingnya dengan tujuan kenabiannya. Karena itu dari awal, Islam sama halnya dengan penerapan kekuasaan. Dalam bahasa Arab kuno tidak ada pemisahan bagi kata “awam” dan “eklestial,” “rohani” dan “duniawi,” “sekuler” dan “agamawi.” Islam tidak membedakan hal-hal itu karena Islam mengatur semuanya dan menganut hukum atas seluruh kehidupan umatnya.

1.2. Masyarakat Barat mengembangkan badan-badan negara yang sangat penting bagi terbentuknya demokrasi dan sekulerisme. Salah satu badan itu adalah Badan Perwakilan Masyarakat (atau DPR), yang fungsinya sama seperti yang dijalankan dalam Undang-undang Romawi. Undang-undang ini melindung hak warga negara untuk diperlakukan sebagai badan usaha pribadi (corporate person) yang berhak membeli dan menjual, membuat persetujuan dagang, tampil sebagai pihak yang membela haknya, dll. Tiada hukum Islam yang setara dengan hukum perwakilan rakyat Romawi seperti itu. Islam tidak mengakui hak Muslim sebagai badan perusahaan pribadi. Hal ini dikatakan pula oleh Joseph Schacht: “Islam tidak mengenal hak-hak individual, bahkan keuangan masyarakat pun tidak dipandang sebagai sebuah badan tersendiri.”

Satu dari fungsi utama badan-badan perwakilan pemerintahan Barat adalah penetapan hukum negara, tapi hal ini pun tidak ada dalam hukum Islam, sehingga tidak diperlukan badan perwakilan apapun dalam negara-negara Islam. Negara Islam adalah negara agama yang diatur Tuhan. Bagi Muslim mu’min, hukum negara berasal dari Tuhan saja, dan penguasa negara berkuasa melalui hukum Tuhan, dan bukan hukum buatan manusia. Pemimpin negara hanya mengartikan hukum-hukum Tuhan yang diturunkan melalui Muhammad. Karena tiadanya badan perwakilan masyarakat, Islam tidak mengembangkan prinsip-prinsip perwakilan, atau tata cara apapun untuk memilih wakil rakyat atau pemilu. Karena itulah maka tidak heran, seperti yang dikatakan Lewis, jika sejarah negara-negara Islam adalah “contoh kepemimpinan mutlak (absolut-totaliter). Muslim tunduk penuh di bawah pemimpin Islam sebagai bagian dari ibadah. Dengan sendirinya, tidak taat pada Pemerintah Islam merupakan dosa dan juga pelanggaran hukum.”

1.3 Islam mengaku sebagai kebenaran sejati, unggul di atas segala kepercayaan, satu-satunya kebenaran, dan diwahyukan pada satu orang saja, menghasilkan satu buku saja: Al-Qur’an. Sudah kewajiban Muslim untuk membuat seluruh dunia memeluk Islam. Hal ini dinyatakan pula oleh Frithjof Schuon, “…Muslim cenderung percaya bahwa non-Muslim tahu bahwa Islam merupakan kebenaran mutlak dan menolaknya karena keras kepala; atau non-Muslim itu benar-benar tidak tahu akan Islam dan dapat diajak masuk Islam melalui penjelasan singkat tentang Islam. MUSLIM TIDAK MAMPU MENGHADAPI KENYATAAN BAHWA NON-MUSLIM DAPAT MENENTANG ISLAM BERDASARKAN NURANI SENDIRI. Hal ini karena Islam telah tertanam sangat dalam di benak Muslim dan ini menghalangi mereka berpikir logis.” Aku tidak menentang pernyataan ini sama sekali.


(2) Budaya Sosial (aku tidak bisa membahas secara luas karena kurang waktu);

David Pryce Jones mengatakan kunci untuk mengerti masyarakat Muslim, setidaknya dalam dunia Islam yang berbahasa Arab, adalah, “mendapatkan kehormatan, harkat, hormat, dan menghindari malu, aib, dan hinaan…” Pentingnya mendapat rasa hormat dan menghindari aib merupakan warisan masyarakat Muslim Arab kuno dan ini menentukan keberadaan diri sendiri dan perlakuan seseorang. Apapun dihalalkan untuk menjaga kehormatan keluarga, bahkan berbohong, menipu, dan membunuh pun dihalalkan. Kehormatan membuat hidup jadi layak sedangkan rasa malu membuat hidup bagaikan mati saja. Rasa aib dan hormat berhubungan dengan sikap masyarakat sekitar; berita sukses disebarkan ke mana-mana, dan aib mendatangkan hinaan dari masyarakat.

Nah, kita sekarang melihat bahwa sikap masyarakat Barat yang suka mengritik diri sendiri jelas tidak mungkin terjadi dalam masyarakat Muslim karena berani mengritik berarti mengundang rasa malu, tidak peduli bagaimana pun bentuk kritik itu. Karenanya, kritik diri sendiri merupakan hal yang tidak dikenal masyarakat Islam. Ini juga sama dengan, misalnya, memberi ijin bagi agama lain dalam masyarakat. Hal ini sungguh sukar dimengerti karena ini menghina agama Islam yang diyakini sebagai agama sejati. Pluralisme dalam kepercayaan tidaklah mungkin. Masyarakat Islam menerapkan aturan-aturan ketat dalam perilaku sosial dan ini harus dipatuhi secara mutlak. Contohnya dalam tingkat keluarga, tidaklah mungkin bagi seorang anak laki untuk tumbuh besar dan membentuk karakter diri sendiri dengan mempertanyakan keputusan-keputusan ayahnya sebagai kepala keluarga dan juga keputusan ibunya. Dalam tingkat politik negara, masyarakat harus tunduk total terhadap pemimpin negara tanpa punya hak bertanya.

(3) Ekonomi politik modern [7]

3.1. Kegagalan membentuk negara-negara modern terjadi dalam dunia Islam. Edward Said menjelaskan hal ini, “Sejarah dunia Arab modern – dengan kegagalan politiknya, pelanggaran kemanusiaan, kebobrokan militer yang mencengangkan, nilai produktivitas yang semakin berkurang, orang-orang Arab yang tidak berprestasi dalam perkembangan demokrasi, teknologi, dan ilmu pengetahuan – babak belur karena penerapan aturan-aturan dan gagasan-gagasan yang ketinggalan jaman, …

“Kegagalan ini juga terjadi pada banyak negara-negara Islam non-Arab. Jumlah masyarakat Muslim meningkat, tapi pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan mereka, tidak mampu menciptakan lowongan kerja, perumahan, fasilitas-fasilitas kesehatan, transportasi, inflasi tak terkendali, dan penuh dengan pelanggaran kemanusiaan (penyiksaan, hukum yang memihak, pembunuhan bagi yang berani menentang pemerintah).

3.2 Kegagalan ini digembar-gemborkan oleh para Islamis guna mendongkrak ketenaran diri sendiri, guna lebih berkuasa, dan akhirnya malah meningkatkan Islamisasi dalam masyarakat.

3.3. Mungkin kau akan bertanya: bagaimana kaum ulama bisa berkuasa? Jawabnya yang pertama adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an berlaku bagi semua Muslim, dan tidak hanya para “fundamentalis” saja, karena Al-Qur’an merupakan perkataan Tuhan sendiri. Firman Tuhan berlaku sepanjang masa dan tempat, kebenarannya mutlak dan tidak boleh dikritik atau dipertanyakan. Kalau berani mempertanyakan Al-Qur’an itu berarti menentang firman Tuhan dan ini dianggap sebagai penghujatan.

Tugas seorang Muslim adalah percaya dan tunduk di bawah firman Tuhan. Karena pentingnya Al-Qur’an dan Sunnah, maka diperlukan orang-orang yang mampu mengartikan ayat-ayat dan pesan-pesan suci itu. Mereka itu adalah para ulama. Karena kekuasaan ulama semakin besar dalam masyarakat, mereka jadi tambah percaya diri dan mengaku sebagai orang yang berhak mengurus segala perihal agama dan negara. Doktrin masyarakat harmonis Muslim (ijma) juga akhirnya memberi mereka kekuasaan mutlak.

Semua agama yang memerlukan ketaatan mutlak kepada pemimpin agama (ulama) tidak akan menghasilkan masyarakat yang mampu untuk BERPIKIR SECARA KRITIS; masyarakat yang mampu berpikir sendiri. Keadaan ini tentunya menguntungkan para ulama yang berkuasa dan merekalah yang menyebabkan kecerdasan, budaya, ekonomi masyarakat Islam diam di tempat selama beberapa abad. Dalam perkembangan sejarah Islam, tiada pemisahan antara negara dan agama. Segala kritik tentang satu hal dipandang sebagai kritik tentang hal lain. Setelah Perang Dunia II, masyarakat Muslim dunia ketiga mengartikan Islam secara salah sebagai paham Nasionalisme. Kritik terhadap Islam dianggap sebagai kritik Nasionalisme, dan karenanya yang berani mengritik Islam dianggap anti nasionalis dan berpihak pada penjajah dan imperialis. Tiada negara Islam yang mampu mengembangkan demokrasi yang stabil. Muslim terus saja ditindas penguasa mereka sendiri. Di bawah penindasan tersebut, masyarakat Muslim tidak mampu melakukan kritik sosial yang membangun, padahal pemikiran kritis dan kemerdekaan merupakan satu kesatuan.

Unsur-unsur di atas menjelaskan mengapa Islam umumnya tidak pernah diperiksa dan dipelajari secara ilmiah. Islam tidak mendorong penemuan-penemuan baru dan segala masalah dilihat sebagai masalah agama dan bukan masalah sosial atau ekonomi.

3.4 Kebanyakan negara-negara dunia Islam menerapkan sebagian atau seluruh hukum Sharia. Turki adalah perkecualian dengan melakukan pemisahan mutlak antara negara dan agama, menghilangkan kata Islam dari UU negara, dan menolak Sharia. Berlakunya hukum negara Islam bisa dilihat di Iran yang menerapkan agama sebagai pusat sumber hukum. Negara lain seperti Syria hanya menganut Sharia sebagai gagasan dasar UU negara. Saudi Arabia tidak punya UU negara tertulis dan menganut Sharia sebagai hukum negara.

3.5 Karena ingin tetap berkuasa dan cari-cari alasan atas kegagalan ekonomi negara, para pemimpin negara-negara Muslim kompromi dengan para ulama, yang pada akhirnya juga minta kekuasaan bagi diri mereka sendiri pula. Para Sheikh, imam, ulama yang khotbah di mesjid-mesjid semakin lama semakin ganas dan kaset khotbahnya laku keras, semakin mendapat tempat di hati pendengarnya kaum muda Muslim yang frustasi dengan keadaan ekonomi mereka. Islam bagaikan obat bagi penderitaan harian mereka dan khayalan untuk dapat hidup yang lebih baik di masa depan.

Di Islam, dan negara-negara Islam umumnya, kaum Islamis mendapat kesempatan berkembang karena kegagalan Pemerintah dalam menangani korupsi, birokrasi negara yang lebih berantakan dibanding dengan birokrasi negara komunis Eropa Timur dulu, rendahnya waktu kerja produktif pegawai negeri Islam (hanya sekitar 27 menit per hari – menurut PBB), Pemerintah tidak melayani masyarakat malah sibuk cari cara agar tetap berkuasa, Pemerintah yang ditakuti rakyat karena suka menyiksa rakyat yang protes dan bukannya melindungi rakyat sendiri.

Jikalau pihak Pemerintah diam saja, maka kelompok-kelompok Islam malah jauh lebih aktif dalam meningkatkan simpati masa di kota-kota besar. Contohnya ketika terjadi gempa bumi di Mesir pada bulan Oktober 1992. Saat itu Presiden Hosni Mubarak sedang berkunjung ke China. Bantuan Pemerintah terhadap korban gempa baru dimulai setelah Mubarak balik pulang ke Mesir, yakni dua hari setelah gempa terjadi. Sebaliknya, kelompok-kelompok Islam dengan cepat memberi bantuan tenda, makanan, pakaian, dan obat-obatan hanya beberapa jam setelah gempa terjadi. Hal yang sama juga terjadi di Yordania oleh Muslim Brotherhood yang mendapat banyak simpati masa dalam usahanya mendirikan sosial budaya negara republik Islam. Di awal 1990-an, di negara kecil berpopulasi 4 juta orang ini, Muslim Brotherhood punya sebuah rumah sakit besar, 20 klinik kesehatan, 40 madrasah, dan 120 pusat studi Islam. Di Tepi Barat dan Gaza, organisasi-organisasi Islam mendirikan dan menjalankan perkumpulan-perkumpulan pelajar, organisasi-organisasi anak muda, agama, sosial, dan badan-badan pendidikan, termasuk sekolah Taman Kanak-kanak sampai universitas Islam, klinik kesehatan, panti yatim piatu, rumah pensiun, hakim-hakim dan alat negara Islam. Organisasi-organisasi Islam juga berkembang luas di seluruh Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini. Salah satu organisasi Islam Indonesia terbesar adalah Muhammadiyah dengan anggota 6 juta orang dan mereka menginginkan “negara agama dalam negara sekuler” dan mereka menawarkan pelayanan-pelayanan sosial di seluruh negara, misalnya sekolah-sekolah, klinik-klinik kesehatan, rumah sakit dan perguruan tinggi.

Kembali pada contoh kejadian di Mesir, kita bisa melihat bahwa dulu sebelum jaman Presiden Mubarak, Presiden Mesir Anwar Sadat almarhum telah membentuk masyarakat Muslim moderat. Tapi sekarang para Muslim itu mulai tambah berpengaruh dan mulai terus-menerus meminta bentuk negara yang lebih Islami. Contohnya, para imam (sheikh) dari Al Azhar, yang terkenal dan adalah pusat belajar Islam yang terpenting, berhasil menyensor lebih dari 150 buku sejak tahun 1952, juga film dan lagu, meskipun sebenarnya Undang-undang Mesir melindungi kebebasan berkarya seni. Ketika tokoh sekuler berani bernama Foda dibunuh, para pembunuhnya justru dibela oleh Sheikh Ghazali dan Pemerintah hanya bungkam saja. Dulu Presiden Anwar Sadat menggunakan pengaruh ulama Al Azhar demi kepentingan politiknya. Misalnya, Anwar Sadat meminta para ulama mengutuk kerusuhan pangan di tahun 1977 dan dukungan atas perjanjian damai dengan Israel di tahun 1979. Sebagai upah service ulama itu, Anwar Sadat memasukkan ajaran agama Islam sebagai mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi dan menulis ulang UU negar agar Sharia jadi salah satu sumber hukum negara yang utama. Dua puluh tahun kemudian para Islamis minta Sharia jadi sumber segala hukum Mesir.

Mubarak yang berjuang melawan para militan Islam harus kompromi dengan Islam dan sangat perlu untuk membangun kekuatan dari pihak moderat Islam. Dia berkata pada wartawan Judith Miller bahwa “dia tidak mungkin bisa menyatakan secara resmi untuk mengurangi acara-acara agama di TV atau melakukan usaha lain untuk mengurangi pengaruh Islam dan memperkuat kekuatan pihak sipil di Islam. Jika dia melakukan hal itu, maka pihak fundamentalis Islam akan menuduhnya bersikap anti-Islam. Dia memang berperang melawan militan Islam, tapi tidak bisa menyebabkan dirinya dituduh menyerang Islam.”

3.6. Pendidikan.

Pendidikan apakah yang perlu dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan sekulerisme melalui ribuan sekolah negeri?

Sayangnya, keadaan politik sosial tidak menghasilkan pendidikan yang mendorong kebebasan berpikir para murid seperti di dunia Barat. “Kendali anak tidak berasal dari ayahnya, tapi dari penguasa negara. Tidak ada satupun penguasa mutlak yang bersedia memberi peluang pada sistem pendidikan yang nantinya bakal mengakibatkan sang penguasa kehilangan kekuasaannya. Pendidikan, sama seperti berbagai badan sosial modern lainnya, telah dikontrol oleh Pemerintah. Sistem pendidikan Arab bertujuan untuk mengontrol masyarakat, dan bukannya kesadaran pribadi.”

Pendidikan telah mengajarkan “aturan hidup di dunia modern tapi tidak menawarkan teknik dan semangat hidup itu sendiri.” Dengan kata lain, universitas-universitas tidak menghasilkan mahasiswa yang dapat mandiri berpikir untuk diri mereka sendiri, mampu mengritik diri sendiri atau berpikir kritis, yang mampu menerapkan kemampuan analisis mereka pada masalah-masalah sosial.

Di Mesir, para Islamis telah menyelusup di 25.000 sekolah-sekolah negeri. Mereka mencuci otak anak-anak dengan memainkan rekaman suara penuh khotbah-khotbah kemarahan dari para pengkhotbah militan seperti Sheikh Kishk dan Sheikh Omar Abdel Rahman. Anak-anak kecil ini diajar untuk mengenal diri mereka sebagai Muslim dan bukannya orang Mesir. Di Aljeria, seorang ayah mengeluh, “Putrika meminta ijin padaku untuk pergi mendengar khotbah agama setiap hari. Gurunyalah yang mengajarkan dia. Ini bagaikan menusuk diriku di rumahku sendiri. Sikap fundamentalis seperti inilah yang harus kita basmi. Ajaran-ajaran sekolah yang terbalik inilah yang membentuk para fundamentalis. Ajaran-ajaran Islam belum disesuaikan dengan keadaan modern sehingga orang dapat mudah terpengaruh untuk bersikap prejudis (prasangka-curiga tanpa sebab yang jelas).” Seorang Aljeria lain berkata, “Aku dulu berpikir hanya auwloh yang dapat menyelamatkan Aljeria. Tapi aku seringkali merasa Dialah sumber segala kesengsaraan kami.” Di sekolah-sekolah dasar, para murid diminta untuk menghafal ayat-ayat Qur’an dalam bahasa Arab, bahkan pula di negara yang tidak berbahasa Arab sekalipun. Tidak heran jika anak-anak itu tidak mengerti apa yang mereka hafalkan. Sewaktu anak-anak ini dewasa dan masuk universitas, tiada perubahan berarti dalam tingkah laku mereka; inilah yang dikatakan oleh Shabbir Akhtar yang mengajar di International Islamic University di Malaysia tahun 1990-an, tentang bekas mahasiswa-mahasiswanya: “Aku khawatir akan bekas mahasiswaku. Dalam Islam, dan juga dalam Yudaisme dan Kong Hu Cu, ayat-ayat perlu dihafal secara persis. Beberapa mahasiswa tidak hanya hafal Qur’an tapi juga berusaha menghafal semua hal tentang Islam. Mahasiswa yang hebat adalah yang hafal semuanya.”

Di hari terjadinya pembantaian turis di Luxor, Mesir, harian Al Goumhouriya dengan berani menulis, “Semua orang Mesir bertanggung jawab atas kejadian ini. Masyarakat kita telah disusupi oleh kriminal-kriminal ini dan kita jadi tempat persembunyian nyaman mereka. Mereka hidup, sembunyi, membunuh dan lalu kembali lagi hidup diantara kita. [Universitas agama Islam Al Azhar dan madrasah-madrasah] penuh dengan orang-orang yang dicuci otaknya dengan ajaran Islam. Demikian tulisan Mahfouz al Ansari yang menyatakan Al Azhar dan madrasah adalah pabrik penghasil para ekstrimis-terroris.

3.7. Identitas Budaya.

Salah satu unsur terakhir tapi penting dalam bangkitnya Islam saat ini ada hubungannya dengan krisis identitas Islam, terutama dalam menghadapi keberhasilan budaya dan ekonomi Barat yang luar biasa. Secara kontras, yang terjadi di dunia Islam terbalik dengan kesuksesan dunia Barat, karena dunia Islam mengalami kegagalan ekonomi, politik, budaya, dan hak azasi manusia (HAM). Kegagalan-kegagalan ini mengakibatkan rasa frustasi, iri, dan benci terhadap pihak Barat dan meningkatkan pentingnya jati diri Islami. Setidaknya ada seorang pemikir yang berkata, “Identitas Islami tidak ada hubungannya dengan ibadah dan hubungan manusia dengan Tuhan atau alam raya, tapi berhubungan dengan masalah kekuasaan, baik itu Suni atau Shiah. Meskipun begitu, mereka tidak mampu mencapai kekuasaan itu. Dunia Islam tidak punya pengaruh politik, masyarakat Islam kerdil secara emosi dalam praktek kehidupan mereka. Untuk menutupi kelemahan ini, mereka membangkitkan semangat Islami dan mencari kesalahan atas kegagalan mereka. Pihak yang mudah disalahkan adalah pihak Barat.”

Analisa ini kupikir tidak mengindahkan kenyataan bahwa Muslim tradisional memang menganut Islam sebagai dasar jati diri dan kesetiaan pada masyarakat. Dan “karena bagi Muslim agama Islam itu unggul di atas segala keyakinan lainnya, maka segala kegagalan Muslim di dunia ini disebabkan karena mereka kurang beribadah dan karena Pemerintah tidak menjalankan Syariat Islam. Obat kegagalan ini adalah kembali kepada Islam yang asli dari Muhammad dan para sahabatnya, dan menolak segala penemuan baru yang mengotori ajaran Islam dan masyarakat Muslim…”

Di Perang Teluk, setiap cendekiawan Muslim dan Arab membela Saddam Hussein karena “dia berani melawan Barat.” Pendapat ini menjelaskan mentalitas gagal dalam dunia Islam, perasaan lebih kecil (minder; rendah diri) daripada Barat yang besar. Dunia Muslim tentunya nampak sangat putus harapan karena mengira mereka bisa berharap dari seorang diktator yang membunuhi ratusan ribu rakyatnya sendiri.

Para cendekiawan Muslim itu tampaknya tidak mampu untuk mengritik diri sendiri. Mereka terus saja berkecimpung dengan pemikiran: “mereka” melawan “kita”, sama seperti dulu di jaman Arab Islam vs. Crusaders (tentara Kristen pada Perang Salib). Segala kegagalan di dunia Islam dianggap karena dunia Barat, karena Israel atau karena akal-akalan Zionis Yahudi. (makanya, muslim paling doyan sama yg namanya teori konspirasi. Sodorkan sedikit saja cerita dng bumbu-bumbu konspirasi Zionis di dibalik segala fenomena kegagalan muslim, pasti bakal di-lahap dng rakus cerita anda itu. -adm).

Hal ini dinyatakan dengan berani oleh Kanan Makiya, “Kebiasaan lama sukar hilang. Hal ini terjadi terutama pada masyarakat yang selalu mengutamakan kehormatan diri dan biasa menyalahkan pihak lain atas kegagalan sendiri. Yang biasa disalahkan adalah ‘pihak asing’ atau ‘budaya asing’ yang biasanya jauh lebih berprestasi, lebih kuat, dan lebih dinamis. Contoh nyata dapat dilihat dari sikap bangsa Arab yang menyalahkan segala masalah yang mereka alami kepada pihak Barat atau Israel. Gaya bahasa mereka semakin tidak masuk akal, histeris, konyol, dan semakin sedikit bangsa Arab yang berhasil secara politis dan budaya di jaman modern ini. ###

Further point of discussion:

[1] Governments in power during cold war encouraged the Islamists as bulwark against Communists. Huntington 115

[2] Not a problem of literacy – Egypt =50 % ; Pakistan = 36 % ; Iran = 74 %. Islamists: all very young, and educated: engineers. Huntington p.113: 80% university students (Egyptian Militant Leaders)

[3] Islamists not successful with peasants, or rural elite, but urban poor, looking for help & meaning. Cf. E.Gellner, pp 9-15.’ High Islam / Low Islam, of the scholars/people respectively.

[4] Demography: Muslims: 18% in 1980, 30% in 2025. 40 Muslim countries. Huntington p.119.

[5] Nonreligious + atheists in the World: 841,000 000 + 220 000 000 = 1061 000 000 = 18% World population (Source 1997 Almanac)

[6] Muslims: 1099, 634 000 ; Christians: 1927,953 000 ; Hindus: 780,547 000.

[7] Averroes (1126–1198) superseded by Ibn Taimiya (1263-1328)

[8] Secularists since the early 19th century: Jinnah, Attaturk, Farag Foda (1992) (1985: Qabl al Suqut) Rifaat Said, Taha Hussein (1889-1973), 1926 First Egyptian film, by woman!, Women's magazines: 1900s, 1914, more than twenty women’s periodicals.

[9] Islamic law does not reflect changing social realities as does Roman law. WIANAM, p.169.

[10] Individual not important in Islam: collective will of the Umma, Muslim community, more important.

[11] Civil society not well-developed in Islamic Societies.

*Sumber, follow this link.